Jumat, 27 Mei 2011

Aku menyerah kepada cinta


Aku menyerah kepada cinta
Yang menelanjangiku sedikit demi sedikit
dan mempermalukanku tanpa ampun
di sebuah altar dengan tangan terikat

Aku menyerah kepada cinta
Yang meraihku dari balik punggung
menancapkan pisau maha tajam bermata kebiruan
dan kemudian mengecupku tanpa rasa bersalah

Aku menyerah kepada cinta
Yang melepaskan jubah emas dan permata yang berkilauan
Mengajakku melalui lorong-lorong penuh darah dan air mata
Tangannya erat menggenggamku, penuh keyakinan

Aku menyerah kepada cinta
Sayap-sayap ini putus dan berserakan
Seperti malaikat yang telah rapuh dan tua
Ia mengubahku menjadi manusia biasa yang berjalan dan merasa lelah

Aku menyerah kepada cinta
Yang membuatku setegar gunung karang di tepian laut
meski cambuk duri melepaskan luka perih tak berperi
Ia masih di sana, menyembuhkanku tanpa berbuat apa-apa

Aku menyerah kepada cinta
Yang menghembuskan nafas saat aku tenggelam
Yang menundukkan amarah saat hati menjadi mati
Yang menorehkan tangis saat semua menjadi tidak sama

Aku menyerah kepada cinta
Ia mengatakan kepadaku dengan mulutnya yang bisu
Ribuan pesan dan rahasia
Yang tidak sempat aku tuliskan
Yang tidak sempat aku balas

Selasa, 17 Mei 2011

Cerita Wortel, Telur atau Kopi

Seorang anak mengeluh pada ayahnya tentang hidupnya yang sulit. Ia tidak tahu lagi harus berbuat apa dan ingin menyerah saja. Ia lelah berjuang. Setiap saat satu persoalan terpecahkan, persoalan yang lain muncul. Ayahnya, seorang juru masak, tersenyum dan membawa anak perempuannya ke dapur. Ia lalu mengambil tiga buah panci, mengisinya masing-masing dengan air dan meletakkannya pada kompor yang menyala. Beberapa saat kemudian air dalam panci-panci itu mendidih. Pada panci pertama, ia memasukkan wortel. Lalu, pada panci kedua ia memasukkan telur. Dan, pada panci ketiga ia memasukkan beberapa biji kopi tumbuk. Ia membiarkan masing-masing mendidih.

Selama itu ia terdiam seribu bahasa. Sang anak menggereget gigi, tak sabar menunggu dan heran dengan apa yang dilakukan oleh ayahnya. Dua puluh menit kemudian, sang ayah mematikan api. Lalu menyiduk wortel dari dalam panci dan meletakkanya pada sebuah piring.Kemudian ia mengambil telur dan meletakkanya pada piring yang sama. Terakhir ia
menyaring kopi yang diletakkan pada piring itu juga. Ia lalu menoleh pada anaknya dan bertanya, "Apa yang kau lihat, nak?" "Wortel, telur, dan kopi" jawab sang anak.Ia membimbing anaknya mendekat dan memintanya untuk memegang wortel.

Anak itu melakukan apa yang diminta dan mengatakan bahwa wortel itu terasa lunak. Kemudian sang ayah meminta anaknya memecah telur. Setelah telur itu dipecah dan dikupas,sang anak mengatakan bahwa telur rebus itu kini terasa keras. Kemudian sang ayah meminta anak itu mencicipi kopi. Sang anak tersenyum saat mencicipi aroma kopi yang sedap itu. "Apa maksud semua ini, ayah?" tanya sang anak.

Sang ayah menjelaskan bahwa setiap benda tadi telah mengalami hal yang sama, yaitu direbus dalam air mendidih, tetapi selepas perebusan itu mereka berubah menjadi sesuatu yang berbeda-beda. Wortel yang semula kuat dan keras, setelah direbus dalam air mendidih, berubah menjadi lunak dan lemah.Sedangkan telur, sebaliknya, yang semula mudah pecah, kini setelah direbus menjadi keras dan kokoh.

Sedangkan biji kopi tumbuh berubah menjadi sangat unik. Biji kopi, setelah direbus, malah mengubah air yang merebusnya itu. Maka, yang manakah dirimu?" tanya sang ayah pada anaknya. "Di saat kesulitan menghadang langkahmu, perubahan apa yang terjadi pada dirimu? Apakah kau menjadi sebatang wortel, sebutir telur atau biji kopi?"

Cerita Pakis dan Bambu


Alkisah, tersebutlah seorang pria yang putus asa dan ingin meninggalkan segalanya.
Meninggalkan pekerjaan, hubungan, dan berhenti hidup.
Ia lalu pergi ke hutan untuk bicara yang terakhir kalinya dengan Tuhan Sang Maha Pencipta.

“Tuhan,” katanya. “Apakah Tuhan bisa memberi saya satu alasan yang baik untuk jangan berhenti hidup dan menyerah?”
Jawaban Tuhan sangat mengejutkan.

“Coba lihat ke sekitarmu. Apakah kamu melihat pakis dan bambu?”
Ya,” jawab pria itu.

“Ketika menanam benih pakis dan benih bambu, Aku merawat keduanya secara sangat baik.
Aku memberi keduanya cahaya. Memberikan air. Pakis tumbuh cepat di bumi.
Daunnya yang hijau segar menutupi permukaan tanah hutan.
Sementara itu, benih bambu tidak menghasilkan apapun.
Tapi Aku tidak menyerah.

Pada tahun kedua, pakis tumbuh makin subur dan banyak,
tapi belum ada juga yang muncul dari benih bambu.
Tapi Aku tidak menyerah.

Di tahun ketiga, benih bambu belum juga memunculkan sesuatu.
Tapi Aku tidak menyerah.
Di tahun ke-4, masih juga belum ada apapun dari benih bambu.
Aku tidak menyerah,” kataNya.

“Di tahun kelima, muncul sebuah tunas kecil.
Dibanding dengan pohon pakis, tunas itu tampak kecil dan tidak bermakna.
Tapi 6 bulan kemudian, bambu itu menjulang sampai 100 kaki.
Untuk menumbuhkan akar itu perlu waktu 5 tahun.
Akar ini membuat bambu kuat dan memberi apa yang diperlukan bambu untuk bertahan hidup.
Aku tak akan memberi cobaan yang tak sangup diatasi ciptaan-Ku,” kata Tuhan kepada pria itu.

“Tahukah kamu, anak-Ku, di saat menghadapi semua kesulitan dan perjuangan berat ini,
kamu sebenarnya menumbuhkan akar-akar?”
“Aku tidak meninggalkan bambu itu. Aku juga tak akan meninggalkanmu. ”

“Jangan membandingkan diri sendiri dengan orang lain,” kata Tuhan.
“Bambu mempunyai tujuan yang beda dengan pakis. Tapi keduanya membuat hutan menjadi indah.”

“Waktumu akan datang. Kamu akan menanjak dan menjulang tinggi.”
“Saya akan menjulang setinggi apa?” tanya pria itu.

“Setinggi apa pohon bambu bisa menjulang?” tanya Tuhan

“Setinggi yang bisa dicapainya,” jawab pria itu.

“Ya, benar! Agungkan dan muliakan nama-Ku dengan menjadi yang terbaik,
meraih yang tertinggi sesuai kemampuanmu,” kata Tuhan.

" Pelajaran yang bisa didapat dari cerita ini adalah... bahwa kita hidup haruslah fokus dengan apa yang kita miliki... dengan penuh kesabaran kita harus memikirkan memaksimalkan dari apa yang kita bisa. Tenaga ini bukan dibuang begitu saja hanya untuk memikirkan kesuksesan orang lain yang mana justru hanya akan membuat diri kita akan menjadi lemah, iri dan yang paling fatal adalah kurangnya percaya diri. Hidup ini akan terus berkembang andai kita mau dan mampu untuk selalu berjuang maju kedepan sembari kita berdoa kepada Tuhan yang maha Agung"

Rabu, 11 Mei 2011

Dua Ekor Kodok


Suatu hari dua ekor kodok masuk ke sebuah dapur.
Mereka loncat kesana kemari. Akhirnya kodok-kodok
enerjik ini mendarat di sebuah panci besar memuat susu segar.

Tentu saja mereka berusaha untuk keluar dari panci itu.
Namun susu itu terlalu dalam sehingga mereka tak dapat
memakai dasar panci sebagai pijakan untuk meloncat keluar.
Dinding panci terlalu licin, dan bibir panci terlalu tinggi.
Akhirnya mereka hanya berenang-renang di susu itu.

Lama kelamaan mereka lelah. Kodok yang satu merasa putus asa.
Karena kelelahan dan harapan hidupnya yang telah patah,
ia pelan-pelan tenggelam ke dasar panci. Kodok yang
satunya terus berusaha untuk menggerakkan keempat kakinya.
Ia terus berenang di permukaan susu itu.
Ia lelah tapi ia tak mau tenggelam. Ia terus ber-ikhtiar.

Ternyata apa yang ia lakukan itu tanpa sadar sama
dengan yang dilakukan seorang pembuat mentega.
Mentega akan terbentuk dan muncul di permukaan
susu segar jika susu segar terus diaduk hingga berapa
lama. Lama-kelamaan permukaan susu mengental dan
akhirnya mengeras. Kodok itu akhirnya menemukan bahwa
permukaan susu sekarang cukup keras dan kuat untuk
menjadi landasan lompat. Lalu ia meloncat ke luar panci
dengan selamat.

Selasa, 10 Mei 2011

Tatapan Penuh Cinta


Pernahkah anda menatap orang-orang terdekat anda saat ia sedang tidur?

Kalau belum, cobalah sekali saja menatap mereka saat sedang tidur.
Saat itu yang tampak adalah ekspresi paling wajar dan paling jujur dari seseorang.

Seorang artis yang ketika di panggung begitu cantik dan gemerlap pun
bisa jadi akan tampak polos dan jauh berbeda jika ia sedang tidur.
Orang paling kejam di dunia pun jika ia sudah tidur tak akan tampak wajah bengisnya.

Perhatikanlah ayah anda saat beliau sedang tidur. Sadarilah, betapa badan yang dulu kekar dan gagah itu kini semakin tua dan ringkih, betapa rambut-rambut putih mulai menghiasi kepalanya, betapa kerut merut mulai terpahat di wajahnya. Orang inilah yang tiap hari bekerja keras untuk kesejahteraan kita, anak-anaknya. Orang inilah, rela melakukan apa saja asal perut kita kenyang dan pendidikan kita lancar.

Sekarang, beralihlah. Lihatlah ibu anda. Hmm...kulitnya mulai keriput dan tangan yang dulu halus membelai- belai tubuh bayi kita itu kini kasar karena tempaan hidup yang keras. Orang inilah yang tiap hari mengurus kebutuhan kita.
Orang inilah yang paling rajin mengingatkan dan mengomeli kita semata- mata karena rasa kasih dan sayang, dan sayangnya, itu sering kita salah artikan.

Cobalah menatap wajah orang-orang tercinta itu... Ayah, Ibu, Suami,
Istri, Kakak, Adik, Anak, Sahabat, Semuanya...

Rasakanlah sensasi yang timbul sesudahnya.
Rasakanlah energi cinta yang mengalir pelan-pelan saat menatap wajah
lugu yang terlelap itu.

Rasakanlah getaran cinta yang mengalir deras ketika mengingat betapa
banyaknya pengorbanan yang telah dilakukan orang-orang itu untuk
kebahagiaan anda.

Pengorbanan yang kadang tertutupi oleh kesalah pahaman kecil yang entah kenapa selau saja nampak besar.

Secara ajaib Tuhan mengatur agar pengorbanan itu bisa tampak lagi
melalui wajah-wajah jujur mereka saat sedang tidur.

Pengorbanan yang kadang melelahkan namun enggan mereka ungkapkan. Dan ekspresi wajah ketika tidur pun mengungkap segalanya.

Tanpa kata, tanpa suara dia berkata... "betapa lelahnya aku hari ini".
Dan penyebab lelah itu? Untuk siapa dia berlelah-lelah? Tak lain adalah kita.

Suami yang bekerja keras mencari nafkah, istri yang bekerja keras mengurus dan mendidik anak, juga rumah. Kakak, adik, anak, dan sahabat yang telah melewatkan hari-hari suka dan duka bersama kita.

Resapilah kenangan-kenangan manis dan pahit yang pernah terjadi dengan menatap wajah-wajah mereka. Rasakanlah betapa kebahagiaan dan keharuan seketika membuncah jika mengingat itu semua.

Bayangkanlah apa yang akan terjadi jika esok hari mereka "orang-orang terkasih itu" tak lagi membuka matanya, selamanya ...